19.12.12

mengurangi sampah (sulit terurai)


“kalau bisa jangan pakai styrofoam oom” saya nyeplos sewaktu beli nasi pepes dekat rumah sambil  bawa kotak makanan dan kantong sendiri.  “kan ada daunnya” kata si oom. “bukan, styrofoam kan sulit terurai”. “ohh..lingkungan..iya memang tidak baik untuk lingkungan. Tapi susah. Kalau ada pesanan 50 pepes nasi, kalau ga pakai styrofoam nasinya gepeng, daunnya bisa sobek yang di bagian bawah. Pakai dus juga mahal. 1 dus aja harganya 850 rupiah. Kalau ditumpuk juga dus ga terlalu kuat. Memang pernah ada yang beli dari jakarta, sama sekali tidak mau pakai styroform. Dia emang ‘orang lingkungan’. Jadi pakai dus tapi dusnya dibayar terpisah.” Ah si oom sudah punya segudang kalimat pamungkas. Tapi yang beli sedikit dan tidak ditumpuk juga saya rasa masih pakai styroform. Dulu sih begitu, entah sekarang. Kalau banyak orang gangguin, mungkin dikit-dikit bisa dikurangi.

Nasi pepes si oom ini sering dipesan banyak di dalam kota maupun di luar kota karena rasanya yang enak. Pesanannya bisa sampai dikirim ke lampung. Jakarta sih sering. “Pernah saya kirim ke kementerian di jakarta, waktu itu masih andi malarangeng. Pakai styroform. Gapa2 tuh.”

Saya lupa tanya berapa harga styroform per buah, dari hasil google, katanya harga di pasaran 400 rupiah. Lalu saya juga ingat besek anyaman bambu, ah itu pasti lebih mahal lagi dari dus. Bikinnya saja masih kerajinan tangan. Memang tidak mudah ya kalau hitungannya harga. Sebetulnya mengurangi keuntungan belum tentu keuntungannya betul2 berkurang. Dengan sedikit penjelasan soal ramah lingkungan, mungkin akan lebih banyak orang yang beli dan otomatis jumlah keuntungan bisa berkurang. Lama-lama bisa mulai menaikkan harganya juga.

Tapi persoalan2 seperti ini sebetulnya bisa selesai dengan cukup sederhana. Penegakan hukum dan peraturan. Aturan melarang dan penegakan hukum yang konsisten. Kalau menjadi syarat untuk semua secara merata, termasuk pedagang kecil, maka semua harus ikut kan. Kalau melanggar, ya diberikan sangsi saja. Kalau diberlakukan secara merata, maka tidak menjadi persoalan persaingan harga. Ah, tapi mana mungkin. Sekarang kan sedang tidak ada presiden dan pemimpin =p.

Pengakuan dosa. Saya dan keluarga juga sudah berusaha, tetapi belum bisa sama sekali tidak membuang sampah yang sulit terurai. Makan siang hari ini saja sudah menambah 1 plastik bungkus kerupuk. 1 plastik bungkus emping. 2 plastik kecil bungkus sambal. Mungkinkah sama sekali tidak menyampah? Yang lebih berpengalaman, tolong cerita dong =).

cimahi, 19 desember 2012
yu sing

3.12.12

Hidup selaras alam – suka, duka dan harga.


Oleh: Yang Suwan ;
Ciputat - Lembata  Augustus  2004.


Bila saya jujur,sesungguhnya hidup berpindah-pindah mempunyai romantika tersendiri. Konon “darah” berpetualang dan mengembara datang  dari pihak ayah. Di keluarga bapak pergi mengembara, bertapa, meninggalkan keluarga selama berbulan-bulan adalah keluhan dan cerita klasik para istri yang menikahi pria-pria dari keluarga ini. Hanya saja selama ini mengembara di keluarga ayah identik dengan laki-laki.

- Ya tentu saja, bukankah ia putri bapaknya ?  
Komentar seperti ini sebetulnya tidak terlalu menyenangkan  : putri tertua sang bapak petualang . Seakan diri ini tidak beridentitas  dan pekerjaan  yang dijalankan tidaklah penting.
Tapi memang tidak bisa disangkal, saya besar dengan foto-foto ayah. Gambar-gambar dari segala penjuru Nusantara tertempel rapi di album tua dan tebal. Ayah adalah seorang fotografer dan tokoh kepanduan (pramuka) dijamannya.

Pekerjaan sebagai antropolog dan peneliti membawa orang berkelana ke pelosok dan kampung terpencil. Hidup berbulan dan berminggu di lapangan mengasyikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berumah dimana-mana taklah merupakan siksaan. Malah sebaliknya; asyik dan tak pernah membosankan .

Sehingga nasihat-nasihat agar berumah sendiri dan tidak berpindah-pindah rumah kontrakan sebenarnya tidaklah perlu di ulang-ulang di hadapan diriku. Namun rupanya argumenku tidaklah meyakinkan orang-orang tercinta , bahwa aku baik-baik saja dan berumah identik dengan berakar itu tidaklah mesti merupakan prioritas semua orang. Fakta yang rupanya sulit dicerna.


- Relaxlah. Tidak betah? Ya ditinggalkan, seperti kau pindah ke rumah kontrak baru saja . Mengapa begitu banyak pikiran sih ? -  
Untuk kesekian kalinya sahabatku menasihati , bahwa menetap sekarang ini sudah saatnya.

- Ya tapi……dimana ? -  
- Ada-ada saja, di Jakarta tentu saja . Dimana lagi …?
Tak berani kukatakan,pada sahabatku ini, bahwa tawaran menetap diberbagai tempat kerja telah berulang kali ditawarkan dengan janji-janji  yang menggiurkan dan setiap kali membuat aku merasa kikuk dan bersalah.(‘Terima kasih, tapi….belum waktunya barangkali. Maaf…..”)

Beberapa tahun lalu saya membantu sahabat satu ini mendirikan rumahnya dan pengalaman ini telah menyemen persahabatan kita dengan lebih erat lagi.Dan rupanya pengalaman “berumah” yang positif di rumahnya yang  ramah lingkungan, diakrabi benda budaya yang mengesankan itu , meyakinkan si sahabat untuk membujuk melakukan hal yang sama .
Apa yang baik untuk dirinya tentu baik pula untuk sahabat karibnya bukan ?


Rumah yang akhirnya dibangun di pinggiran Jakarta mengikuti keberadaan pohon-pohon tua yang telah ada di lahan rumah  seperti kelapa, rambutan, durian, kecapi dll. Dengan demikian rumah terlihat seakan bukan rumah baru tapi sepertinya memang dari dahulu sudah ada di tempat dengan keberadaan pohon-pohon dewasa rimbun dan tinggi.Fakta ini ternyata juga telah menolong cadangan air tanah kami,pada waktu tetangga kiri kanan di setiap kemarau panjang berteriak kekurangan air .

Pada waktu rumah akhirnya  selesai dan mulai dihuni, jujur saja ada semacam kegamangan menempatinya mengingat era pindah-pindahan  di Jakarta dengan segala romantikanya usailah sudah.

Mungkin pada waktu itulah mulai  disadari oleh seisi rumah,bahwa gaya hidup di rumah baru mau tidak mau perlu direvisi  dibanding masa lalu .Permasalahan-permasalahan yang sebelumnya tidak dikenal haruslah dihadapi dan dicarikan solusinya . Dua tahun pertama di rumah baru , saya - mungkin juga anggota rumah lainnya -  bertanya-tanya pada diri sendiri: apakah ini suatu keputusan yang benar ???

Sahabat dan teman yang berkunjung sangat menolong dalam memberikan saran-saran  dan membuat saya betah. Ong,sahabat tersetia, membagi pengalaman dan nasihat , hidup di rumahnya yang  serupa . Hadiah pertama yang dibawakan teman dan sahabat  kerumah adalah kelambu dan kentongan kayu tradisional , menyadari bahwa rumah baru berada di tempat  langganan  byar-pet pinggiran kota. Kemudian tamu yang paling setia  berkunjung di rumah buka-bukaan adalah – tentu saja - nyamuk.

Pembenah rumah dan praktisi lingkungan paling handal adalah Pak So’eb, tukang kayu setia yang dari waktu ke waktu bekerja di rumah sejak jaman kontrakan dahulu. Lahir sebagai anak tertua seorang dukun terkenal di Banten, ialah yang membimbing seisi rumah  menyiasati hidup selaras alam.  Ia adalah pria yang paling sering memberikan kejutan mini berwawasan maxi pada seisi rumah :  tanaman dari bantaran sungai tempatnya tinggal , kerang pembersih paso, sepotong kayu istimewa agar selamat dan betah di rumah baru . Semua hadiahnya khas , penuh mengandung makna.

Seiring dengan memudarnya bau semen dan cat  di rumah , invasi nyamuk mulai menggerogoti rumah. Problema ini diatasi dengan memasang kelambu di semua tempat tidur dan sofa, memakai dupa wangi , membakar  daun-daun kering di sore  hari ,  membeli raket pembunuh nyamuk dan bersahabat dengan semua cecak dan toke penghuni rumah.
Memasang kawat nyamuk hampir tidak mungkin , berhubung konstruksi bangunan yang buka-bukaan dan membiarkan sebanyak mungkin udara bergerak dan masuk.

Strategi non-obat semprot ini tidak dianut  oleh seluruh rumah. Keluarga pembantu yang merasa sudah menjadi warga kota metropolitan  tidak melihat mengapa balik ke jaman kelambu . Di hidup mereka konsumsi Baygon dan obat sejenis di rumah ini kemudian drastis membumbung…

Kebun yang cukup luas untuk ukuran Jakarta pinggiran dan kekurangan SDM disiasati dengan mencuri kearifan para peladang di pedalaman. Sebagian kebun dibiarkan berkembang sesukanya; sedangkan di daerah dekat rumah tanaman pot menjadi primadona. Ternyata faktor ini menolong sekali dalam menyaring polusi udara dan terik matahari.

Di kebun, tanaman favorit adalah tanaman yang tidak usah diurus  dan  memperbanyak diri sendiri seperti umbi-umbian, rempah-rempah, berbagai jenis pakis tanah dan pohon, anggrek liar,tanaman obat, dan pohon/semak dengan biji-bijian yang diminati  burung. Semua tanaman dan pohon yang rentan penyakit mati sendiri dan yang kuat bertahan,karena kebun tidak mengenal pestisida.

Agar kebun tetap asli,sesedikit mungkin  pohon ditebang .Keladi liar berubah peran menjadi tanaman hias berdaun lebar . Demikian juga dengan semua rumpun pisang dan pohon buah  yang ada. Batang pohon yang gemuk dan bercabang diusahakan menjadi  kebun vertikal dengan menempeli  bermacam pakis dan anggrek liar pada batangnya.

Tanaman dan pohon tambahan pada umumnya didapat dari kebun teman, mengambil di pinggir jalan ,atau dibawa dari daerah atau hutan , bila sedang dinas  di lapangan. Matoa dari Papua, Nimba dari Sumbawa, bibit bunga dari Manggarai , Pakis pohon dari kaki G.Rinjani , palm dari Ujung Kulon  dan Kadaka dari Tomohon bertahap menjadi penghuni kebun.

Setelah masa penyesuaian diri maka tanaman yang paling bertahan diusahakan untuk diperbanyak dan berfungsi sebagai benang merah  dari kebun. Ternyata pakis kadaka Tomohon menjadi tanaman raksasa yang menakjubkan dan memberi kebun semacam “jungle look” yang mengundang decak kagum  para tamu dan kemudian menjadi pemberi arah “Leitmotif” perkembangan kebun selanjutnya.

Semak dan pohon yang berbunga harum; kemuning , jahe hutan, arum dalu dll. , ditanam dekat rumah khususnya teras , dan jalanan setapak dikebun . Di malam hari sehabis hujan, bau harum bunga membuat kebun terasa akrab dan bercerita.

Seiring waktu banyak burung bertandang ke kebun. Praktis semua burung peliharaan tetangga yang kabur kemudian bersarang di kebun,karena makanan selalu tersedia : biji dan buah pohon atau sisa makanan anjing di teras. Penghuni  tetap kebun  adalah burung gereja, perkutut, ketilang, pipit, kolibri lokal, dan berjenis burung kicau. Pernah juga parkit, betet, dan kakatua berkunjung ke rumah kami. Puyuh diawal waktu masih berkeliaran di kebun,yang kemudian hengkang karena tidak tenteram di kejar-kejar anjing.

Gudang makanan terbaik bagi keluarga musang di tanah tetangga sebelah maupun di kebun sendiri adalah pohon-pohon buah yang tua dan tinggi   . Di malam hari papa mama musang dengan semua anak-anaknya asyik memanen buah-buah yang  masak.Bau pandan menyengat kemudian menyebar kemana-mana dan membuat semua penghuni rumah berkaki empat menyalak-nyalak jengkel dan cemburu dan seisi rumah pusing karena kurang tidur.

Keberadaan musang ini membawa permasalahan tersendiri dalam rumah. Atap harus sering diperbaiki,karena tergeser oleh lalu lalangnya keluarga musang.
Kemudian diambil strategi pengalihan kebun belakang tempat bermain musang sebagai resort yang dijaga oleh pasangan bebek dan angsa yang galak dan rakus.
Bebek dan angsa kemudian juga menjadi pembersih hama kebun yaitu bekicot dan keong-keong mini yang diambil dari kolam. Tapi bebek dan angsa  juga mencukur tandas halaman belakang dari rumput dan tanaman-tanaman lainnya…..

Penghuni kebun terbaru adalah tiga ekor bajing lucu ceria berpita milik tetangga sebelah. Dibeli sebagai pet untuk anak-anak , bajing tetangga kemudian membuat pilihannya sendiri: pindah ke ke kebun dengan sumber makanan terbanyak dan termudah .

Melompat-lompat seharian diantara dahan pohon dan melahap panen buah yang ada, Mr. Bajing kemudian menemukan jalan pintas menuju kebun belakang dengan meniti balok-balok rumah, lewat ruang kerja, menyambung keatap bangunan belakang untuk kemudian lepas landas melompat ke pohon rambutan salah satu tujuan utama. Setelah rumah menjadi jalan pintas para bajing tamu tidak diundang ini, para tikus di rumah heran bin ajaib hengkang entah kemana.


Elemen air dan angin seyogyanya menjadi pendamping akrab sebuah  rumah. Tapi karena masih bingung membangun kolam permanen , maka dibuat sejumlah solusi sementara. Kolam ikan improvisasi pertama  dibuat dengan memanfaatkan buis beton yang tidak terpakai . Air kemudian mengundang banyak jenis katak untuk datang dan bermukim di kebun .Lalu  seisi rumah  belajar , keberadaan katak - selain salak anjing nada tinggi - adalah barometer handal dalam memantau ada tidaknya ular di kebun di masa-masa  awal rumah berdiri .

Malam hari katak memberikan konser gratis sebagai lagu nina bobo  . Pada waktu itu terpikir  alangkah baiknya bila ditambah dengan nada bas kodok batu  besar  dengan suaranya yang khas , berat dan kencang .
( “Mengapa membeli hanya seekor ibu ? Dagingnya ‘kan terlalu sedikit untuk dimakan ?”)

Di hari ketiga  si kodok hitam legam ditemukan di kebun tercabik-cabik mengenaskan digigit Pascal, si anjing perayu dan pencuri hati yang berdarah pemburu.

Kolam-kolam mini berikutnya adalah gentong dan paso air , disusul dengan bak plastik industri  di tahap akhir. Mereka tersebar dikebun dan teras dekat rumah . Kilau air mengundang langit  berkaca dan di malam hari bulan tergapai di tempayan .
Seiring dengan tumbuhnya pulau-pulau daun teratai di  wadah air dan paso , burung-burung  berdatangan untuk mandi dan bercengkerama di kolam-kolam mini ini  . Pemandangan yang tidak pernah membosankan.

Di kemarau yang panjang dan gersang penghuni-penghuni pohon aneka bentuk dan warna memberanikan diri untuk turun. Mereka kemudian tidak saja  menemukan sumber air di kolam mini tapi juga berkenalan dengan penghuni rumah yang memperhatikan mereka secara seksama dengan mata hampir  tidak berkedip.

Di  siang hari rumah terasa sejuk oleh cahaya yang terfilter oleh rimbunnya pohon dan atap menjorok. Kesejukan di ruang dalam ditunjang oleh suasana temaram teduh. Ubin batu alam dan ubin terra cotta bakar , mengundang orang untuk bertelanjang kaki . Anjing peliharaan menemukan tempat-tempat  favorit mereka untuk tidur siang dan keluarga toke bermukim dibelakang lukisan ,membantu para penghuni rumah dalam perburuan  nyamuk nakal.

Dengan adanya kenyamanan baik bagi manusia maupun binatang, beberapa keterbatasan perlu ditolerir. Lantai dibiarkan telanjang tanpa karpet dan tidaklah seapik dan sebersih seperti yang biasa terlihat di sinetron dan iklan TV, tapi memberi kesempatan untuk hidup dan bernapas bagi semua penghuni rumah : manusia maupun binatang.

Dengan teman dan sahabat setelah pindah rumah , hubungan mengalami suatu proses perubahan pula . Yang mau bersusah payah melawan kemacetan  untuk sampai kesini biasanya adalah sahabat dengan anak-anak dan teman serta rekan kerja dari luar negeri.

Anak-anak kota metropolitan menyebut  “hutan”dan “kebun binatang” bila dibawa berkunjung ke rumah, karena bisa bermain-main dengan binatang peliharaan yang ada dan menjelajah kebun .
Benar memprihatinkan.

Teman dari luar negeri menghargai kebun  yang sengaja dibiarkan semrawut teratur dan menyebutnya “ a natural garden” atau kadang lebih elegan “ your secret garden” . Serangga dan nyamuk untuk mereka bukanlah masalah besar dengan repellent ampuh yang dibawa, dan biasanya mereka ingin seharian duduk dan bekerja di teras, di courtyard-courtyard di dalam  dan juga makan  di luar atau – mengapa tidak?-  sekalian saja menginap.

Melihat perkembangan ini kemudian sebuah amben dari kayu bekas dibuat menjorok keluar di teras atas  oleh pak So’eb .Tempat ini berfungsi  baik sebagai tempat  tidur di luar maupun untuk makan lesehan. Duduk di amben ini terasa seperti kita duduk diatas pohon . Kolong dimanfaatkan untuk kandang binatang, mencuri model yang dilihat di pedalaman Kalimantan pada waktu berumah dengan keluarga Iban di rumah panjang.

Komentar  keluarga yang datang dan teman-teman beragam , setelah melihat rumah dan kebun yang dinilai mereka berbeda dengan rumah konvensional yang dihuni sendiri. Dari memuji setinggi langit , memanfaatkan sebagai ajang pendidikan untuk si anak sampai langsung bertanya apakah kiranya kehabisan dana  dan apakah rumah ini benar sudah selesai ? Apakah kebunnya tidak perlu dibersihkan dan dibabat secara teratur ?

Kemudian keluar serentetan nasihat-nasihat tentu saja dengan maksud  baik , dan berawal  dengan kata “ SEMESTINYA”, yang sering membuat sipemilik rumah tersenyum sayu dan memandang dengan pandang menerawang jauh menembus  si tamu.

Pada waktu salah  seorang sahabat menjadi cacat, dibuatlah teras yang berbatasan dengan kebun dan  ramah kursi roda . Teras perpanjangan atau “teras bawah”  sebagian beratap  fiber jernih  dan setengah bernaung dibawah  rimbunnya pohon matoa.

Kemudian dipasang  lantai  batako yang rongganya  diisi dengan semen agar lebih kuat dan diatur dengan motif gedek. Sebuah solusi alternative karena tidak mampu membeli batu candi yang aduhai itu.  Lantai batako a la batu padas candi  ditanam diatas  pasir agar bisa  bernafas dan menjadi hijau dengan tumbuhnya lumut dan menyebarkan hawa  sejuk sepanjang hari disamping menjadi ruang tamu luar berlangit terbuka.

Bila Anda bertanya apa manfaatnya  hidup selaras alam ?
Mungkin jawab pertama  adalah dari segi kesehatan dan kwalitas hidup  dan oh… begitu banyak hal-hal lain.

Saya menjadi lebih kuat baik fisik maupun psychis . Tidak lekas masuk angin , menghirup udara yang lebih bersih, dan kerja fisik di kebun meningkatkan daya tahan tubuh . Juga saya merasa menjadi lebih peka dalam membaca tanda-tanda alam , mengenali suara dan nada binatang maupun lainnya dan lebih siap mental bila sesuatu terjadi.

Hijau ini memberikan ketenangan yang dibutuhkan setelah kerja keras di lapangan dan dalam periode menulis laporan di rumah . Kebun ini juga memberikan kekuatan untuk bersiap kembali dan balik ke  lapangan.

Dan harganya ? 
Mengurangnya  kunjungan-kunjungan yang berhubungan dengan budaya seperti mengunjungi perpustakaan, pergi ke festival film, mendengarkan konser, melihat pameran-pameran  dan event budaya -  yang semuanya terjadi di kota dan terlalu jauh – adalah bagian dari harga yang harus dibayar.

Berkurang pergi ke mall, berarti mengurangi belanja yang tidak perlu , Kemudian setiap kunjungan ke kota adalah suatu perencanaan yang matang untuk pemanfaatan waktu yang effektif dan seefisien mungkin karena kepekaan yang lebih tinggi  terhadap polusi yang ada.

Melindungi satwa peliharaan (anjing, kucing, burung, bebek dan angsa)  berarti menjadi langganan setia dari pak dokter hewan. Vaksin secara teratur , mengobati peliharaan yang terluka disengat atau digigit satwa lepas adalah secuil kewajiban dari hidup di rumah ini.

Memelihara hubungan dengan teman dan rekan sebagian beralih menjadi ‘bertemu di tengah” artinya bertemu di tempat-tempat umum, di café  dan saya pribadi merasa terkadang mengurangi kwalitas hubungan yang terjalin. Alternatif kemudian diambil dengan memanfaatkan media teknologi canggih.

Lap-top menjelma menjadi  sahabat  setia yang menghubungkan kerinduan akan berita dan surat dari jauh ,dan mengajak teman dan rekan di Jakarta dan manca negara mengintip hidup di rumah ini maupun di lapangan.Fakta yang beberapa tahun lalu tidak terbayangkan , sebagai manusia pengguna setia mesin tik usang….

Tanpa sadar kebun dan rumah mengajak untuk berakar, yang sebelumnya tidak sempat terjadi karena terlalu asyik bepergian . Memang masih ada “rumah” dimana-mana sesuai kemana diri dibawa dalam bekerja , tapi hijau  ini kemudian menjadi pilihan dan mengajak merenung dan mengendap serta memberikan  kekuatan untuk terus melangkah , berjuang dan tidak loyo.

Rasanya berada - namun tidak berada - di suatu kota metropolitan yang sesak, berpolusi tinggi dan kurang ramah pada sesama membutuhkan keberanian tapi bila disiasati bisa  juga disulap menjadi pilihan.

Tentang info teknis rumah:
Dibangun kira2 thn. 2000 (atau akhir 1990, lupa)  oleh Adhi Mursyid (Atelier Enam) (maksudnya adhi moersid). Membangunnya kira2 1 tahun, gara2 sering ditinggal dll. Rumah ini boleh dikatakan rumah kedua dimana saya terlibat. Yg. pertama rumahnya Onghokham (sejarawan almarhum), sahabat dekat saya. Rumah Ong dibangun oleh Hendro Sumardjan, saya sebenarnya minta dia yg. buat, tapi waktu itu pak Hendro ada proyek Kakap di Kemayoran. Baik Ong maupun saya banyak pakai bahan bekas, kita waktu itu belanja sama2 ke Jawa pesisir. Malah saya menulis artikel  tentang masa itu di buku "Onze Ong" (=orbituari untuknya).

buku anda



pagi ini saya menerima email yang membuat saya merinding. sudah hampir 3 tahun buku mimpi rumah murah terbit.  ( http://www.facebook.com/note.php?note_id=48127419118 )
Dan sampai hari ini buku itu membawa saya mengenal banyak orang yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Buku ini seperti menjadi pintu teras, yang membuka dirinya sendiri kepada orang-orang berbagai profesi dan bidang keahlian yang setelah berkenalan akan menjadi teman yang baik. Begitu juga banyak klien saya selanjutnya menjadi teman bercerita. 
Setelah minta ijin, saya salin emailnya di bawah ini: 

"Saudara  Yu Sing yang baik,

Sebenarnya sejak 2 hari lalu, saya sudah "berdialog" dengan Anda.

Buku Anda "Mimpi rumah murah" saya temukan di toko barang bekas yang baru
saja buka di dekat rumah. Lalu tadi siang di Gramedia saya kembali melihat sebuah buku lainnya, dimana Anda terlibat "Anggaran minimal, rancangan maximal". Saya merasa beruntung membaca dan mendalami buku2 Anda, karena saya merasa bertemu dalam pemikiran, konsep, pendekatan  dan estetika.

Saya ingin mengucapkan selamat pada Anda dengan karya2 Anda yang, bagi saya,
sangat mengesankan dan berpihak pada mereka dengan keuangan terbatas dan sarat dengan pemikiran dan konsep  yang matang .

Mendaur ulang  banyak elemen yang Anda sulap menjadi keindahan yang penuh
tanggung jawab dan makna.  

Sekali lagi SELAMAT dan semoga Anda di jalan panjang  karier  yang menanjak
(dan sulit!) , tetap setia pada hal2 yang Anda perjuangkan dan penting di jaman yang serba instan,cepat dan main buang ini.

Mungkin saya perlu memperkenalkan diri saya dulu. Saya seorang antropolog
perempuan dan bekerja di Indonesia Timur di bidang pembangunan desa (rural development).
Sehingga rumah2 yang Anda ciptakan dengan tradisi lokal  akrab dengan diri saya (rumah betang, rumah Sasak, dll.). Lapangan sekarang ini adalah NTT, NTB, Papua, Timor Leste, Sulawesi,  dan Kalimantan (Selatan dan Utara). Saya memang tertarik sekali pada arsitektur lokal, yang di antropologi dimasukan sebagai "material culture" atau juga etnografika.

Sayang sekali saya "gaptek", sehingga tidak faham memotret dan
mendokumentasi  rumah2 tradisional yang saya jumpai  di lapangan. Namun bagaimana sibuknya sekalipun, saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke rumah2 tradisional di lapangan dan kalau ada kesempatan, bersama menikmati makanan lokal setempat dan proses pembuatannya. Karena hal2  ini tidak saja banyak sekali mengatakan tentang budaya dan kelompok  yang dikunjungi, tapi juga demikian berarti bagi diri saya sendiri.

Saya harap Anda tidak merasa  janggal  menerima mail ini . Tapi saya benar
merasa seakan bertemu  teman dengan pemikiran, pendekatan dan ide2 yang sama, walaupun sektor berbeda . Terima kasih untuk buku2 Anda, mereka masih akan menemani saya di hari2 mendatang  di Jakarta maupun di lapangan.

Salam
Suwan."

mudah-mudahan ini ikut memberi semangat untuk teman2 arsitek muda dan calon arsitek untuk tidak pernah berhenti melayani desain rumah murah dan mengkinikan arsitektur nusantara.

selamat pagi!
12 maret 2012
yu sing

10.8.12

vila embun, ubud bali

Vila ini terletak di ubud, bali. Tiap kali ke bali, setiap hari kita akan melihat ritual doa masyarakat bali. Doa atau sembahyang telah menjadi satu dengan semua kegiatan sehari-hari lainnya. Dalam salah satu tulisan yang saya baca (www.beritabali.com) tentang asal usul nama pulau bali disebutkan seperti demikian, dalam kitab Ramayana yang disusun 1.200 SM: "Ada sebuah tempat di timur Dawa Dwipa (yang dimaksud adalah pulau jawa) yang bernama Vali Dwipa, di mana di sana Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)." Vali Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali yang kemudian berubah fonem menjadi Pulau Bali atau pulau sesajen. Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.”
Tiga unsur yang selalu ada dalam sesajen orang bali yaitu air, api, dan bunga harum. Air menjadi unsur penting di Bali, bukan hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga menjadi bagian dari spiritualitasnya. Dalam mencari desain vila di ubud ini, akar budaya yang menarik untuk menjadi sumber inspirasi adalah unsur air tersebut. Menurut penjelasan Ben Sarasvati teman saya orang Bali, air dalam sesajen bali itu merupakan air suci yang telah didoakan oleh pemangku/pendeta yang disebut Tirtha. Maknanya adalah pemberkatan dan penyucian.

Di samping lokasi tanah vila ini juga terdapat air suci (yang menurut masyarakat setempat merupakan satu sumber dengan air suci Pura Tirtha Empul di Tampak Siring) yang terletak di bawah pohon beringin yang sudah besar dan terdapat pura di dekatnya. Upacara ritual Mapeed, 10 hari setelah hari raya Kuningan,  juga dilakukan di pura ini. Ritual ini merupakan perwujudan rasa syukur umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa (putusukmana.blogspot.com). Dalam ritual Mapeed, terlihat pemandangan yang menarik berupa iring-iringan ibu-ibu rumah tangga berseragam pakaian adat membawa sesajen di atas kepalanya.


foto: i putu sukmana ghitha
Betapa pentingnya air suci dan berbagai kegiatan upacara ritual di sekitar lokasi lahan ini, semakin mendorong kami untuk mendesain vila yang berunsur air sebagai bagian dari nilai lokal yang spesifik. Tanah ini sebetulnya milik keluarga kerajaan ubud yang semula ingin dijual karena membutuhkan biaya besar untuk memperbaiki dan merawat Puranya. Klien kami ibu stella merasa sayang kalau tanahnya hanya dijual begitu saja, apalagi kalau sampai dimiliki oleh orang asing. Karena itu diusulkan kepada pemilik untuk mengelola tanahnya bersama-sama dengan cara didesain sebagai kompleks vila, tidak hanya dijual sebagai tanah kosong. Sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan, ibu stella merencanakan ada satu kavling khusus yang akan tetap menjadi pemilik tanah semula. Kemungkinan besar kavling ini akan didesain sebagai vila tipe puri yang modern.

vila embun dilihat dari kolam renang

taman terasering


menara didesain seperti Gebongan, sesajen khas Bali yang terdiri atas rangkaian buah dan sesajen.

ruang santai dengan tangga melingkar sebagai latar belakang (struktur tangga bukan yang sebenarnya, gambar hanya ilustrasi posisi tangga)

ilustrasi kamar tidur vila embun
Vila embun, kami menamakannya seperti itu, karena bentuk vilanya seperti embun atau tetesan air. Di dalam vila embun, kami menitipkan berkat dan penyucian, seperti air suci pada sesajen bali. Setiap orang (diutamakan orang indonesia) yang berkesempatan membeli vila di tempat ini telah diberkati dengan memiliki vila di tanah yang istimewa di ubud, karena itu pula sebagian dananya akan dikumpulkan untuk memberkati ubud (yang masih dicari kemungkinannya akan seperti apa). Diberkati untuk memberkati. Tidak sekedar jual beli.

Komitmen dan paradigma seperti ini membuat kami tim desain lebih yakin dalam mengerjakan desain ini. Beban bahwa tanah ini milik keluarga kerajaan ubud sudah sangat besar, dan semula saya terus ragu-ragu untuk mulai mendesain walaupun tanah dan foto-fotonya telah diperlihatkan. Saya malah mengerjakan desain lain terlebih dahulu yang diberikan klien yang sama, tanah milik rakyat biasa di ubud yang juga membutuhkan uang dan semula ingin menjual tanahnya (soal ini akan diceritakan kemudian). Apalagi kalimat bahwa klien memikirkan tanah ini perlu diusahakan agar dapat memberkati ubud. Semula saya mengusulkan agar memanfaatkan tanahnya untuk fungsi-fungsi pemberdayaan komunitas masyarakat. Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa dana yang cukup besar harus dihasilkan dari tanah ini. 

Dalam mendesain juga tantangannya tidak mudah. Berbagai contoh vila-vila yang dipasarkan di bali menunjukkan bahwa ‘selera pasar’ yang dianut berbagai pengembang kurang memperhatikan desain yang lebih mendalam. Vila-vilanya sangat biasa saja. Ini serupa dengan bahasa pengembang perumahan-perumahan di berbagai kota besar yang menjual rumah-rumah dengan asumsi ‘selera pasar’ yang lebih mudah dijual. Atau seperti sinetron-sinetron tidak bermutu di televisi-televisi di Indonesia yang katanya digemari penonton. Sekedar menjual apa yang disukai walaupun kualitasnya biasa saja atau bahkan tidak baik.

Saya berusaha untuk tidak terjebak dalam kondisi seperti itu. Apalagi visinya terhadap tanah ini sangat tinggi. Desain awal vila embun ini dinilai terlalu berani. Investasinya akan menjadi jauh lebih mahal daripada vila-vila lain yang sedang dipasarkan. Katanya seperti adi busana yang enak dilihat, mengagumkan tetapi sulit untuk dijual atau dipakai. Walaupun pendapat itu menurut saya kurang tepat, di luar sana kita tidak hanya bersaing dengan vila-vila yang biasa-biasa saja tetapi banyak, tetapi juga dengan vila-vila yang hebat walaupun lebih sedikit. Tetapi saya mengerti bahwa perlu banyak penyesuaian terhadap kondisi-kondisi tersebut. Saat ini vila embun akan menjadi tipe khusus, seperti menu spesial yang tidak tercantum di buku menu, yang akan ditawarkan kepada orang tertentu saja. Bukan menjadi menu utama. Entah nanti jadinya seperti apa. Mungkin juga bahkan berubah menjadi fungsi spa dan restoran yang memang disediakan di kompleks vilanya. Tipe-tipe lainnya sedang didesain kembali. Memang ada perubahan skenario pada perencanaan luas masing-masing kavlingnya. Tetapi visi tanah ini dan sistem sumbangsih calon pembeli pada ubud tetap akan bertahan. Semoga visinya akan terus berbuah. Proses ini akan terus berlanjut. Peran arsitek memang tidak mudah. Kadang perlu hati-hati kadang perlu berani.

bandung, 15 april 2012.

Maka desain perlu segera diperbaiki. Desain vila embun perlu disesuaikan menjadi desain vila yang biaya konstruksinya bisa lebih kecil. Kemudian kami mengingat padi. Bali juga salah satu lumbung padi. Sistem pengairan subak sekarang telah diakui unesco sebagai warisan dunia yang penting. Tapi kenyataan lain, sawah-sawah di bali terus berkurang oleh kepentingan pariwisata dan berbagai fasilitas yang mengikutinya. Beruntung lahan vila ini bukan berupa sawah.

Desain vila embun berubah bentuk menjadi lumbung. Tetapi unsur air masih menjadi sumber inspirasi yang tidak kami tinggalkan. Tetesan air masih menjadi bagian yang disederhanakan pada bentuk denah vilanya. Lumbung mengingatkan bahwa sawah di bali juga perlu dilestarikan. Lumbung masih diperlukan. Dan tidak bisa dipisahkan dari air. Kemudian lahirlah 3 tipe vila: purity (120m2 + kolam 30m3), harmony (180 m2 + kolam 40m2), serenity (250 m2 + kolam 50m2). Gambar-gambar lainnya dapat diihat di: www.royaltirtaubud.com

cimahi, 10 agustus 2012


tipe purity denah lantai 1

tipe purity denah lantai 2


tipe harmony denah lantai 1



tipe harmony denah lantai 2




tipe serenity denah lantai 1

tipe serenity denah lantai 2



15.6.12

about yu sing


Yu Sing-architect|Indonesia




Yu Sing was born in Bandung, West Java, Indonesia in 1976. He graduated from Institut Teknologi Bandung in 1999, majoring Architecture Engineering. On that same year he began his career as an Architect by, along with a coleague, establishing Studio Genesis. Then, in 2008, he establish his own independent Architecture Studio called Akanoma (abbreviation of akar anomali; translated as “root of anomaly”). Akar anomali emphasize the studio’s commitment to constantly rooted in Indonesian context of cultures, potentials, and issues.  Yu Sing believes that Architecture is not a priviledge of the rich, instead Architecture should be able to immensely serve all social layers. Therefore, Sudio Akanoma commenced design for affordable houses, with a relatively lower design fee, so that the middle and lower income people may benefit a well-designed house.

While being a dinamic architect, Yu Sing actively writes in blogs and prints. And, in 2009, he published the book “Mimpi Rumah Murah”. He has also given many workshops and seminars in many Indonesian cities (s.a. Bandung, Yogyakarta, Pontianak, Banjarmasin, Lampung, Aceh), engaging students and young architects to cater architecture for all. Moreover, Yu Sing is open for public discussion through his blog, email and other social media accounts. In 2012, working with Prima Rusdi and Mandy Marahimin, via wujudkan.com crowdfunding, he initiated a phylantropic project “Papan untuk Semua” which works in people’s housing and public spaces reaching out to low income society.

Presented Architecture Workshops:

1.       Affordable Houses Design Workshop and Guest Lecture on Socializing Architecture, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 21-22 October 2009

2.       Architecture Course: Public Space Development in Urban Village (West Pamulang), Institut Teknologi Indonesia, 3-5 June 2011

3.       MAAN Mentok Tin Mining City: ‘Exile’ City as a Process Towards Unique and Specific Ecotourism, Mentok, Bangka Island, 20-28 July 2011

4.       Joint Design Studi Indonesia-Japan 2011, Design Intervetion for Sensible High Density Urban Kampung of Megacities, Department of Architecture Faculty of Engineering University of Indonesia, Research Institute of Humanity and Nature (RIHN) Kyoto, Chiba University, The University of Tokyo, Tokyo University of Science, 08-18 September 2011.

As member of Architecture Competition’s board of jury:

1.       Sayembara Rumah Rakyat 2009, Studio Habitat Indonesia, 2009.

2.   Sayembara Penataan Kampung Pinggir Kali Brantas, Malang, East Java area Architecture Students, 2010.

3.     Sayembara Rumah Murah Sehat, Rumah Ide Series and Gramedia Pustaka Utama, 2010.

4.      Sayembara Desain Rumah Tinggal di Kampung Kota, “Housing Solution for a Better Living at Pademangan”, Universitas Trisakti, 2010.

5.      Sayembara Balai Pekumpulan Warga Kampung Layur, Semarang, Universitas Katolik Soegiyapranata, Semarang, 2011.

6.     Sayembara Rumah Tropis Nusantara di Kampung Kota, Universitas Brawijaya, Malang, 2011.

7.       Laras Award 2011 (in absentia).

8.     Sayembara Penataan Pedagang Kaki Lima di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Bandung, Universitas Parahyangan, 2015.

Awards:
2016.

  • Green Leadership Award from BCI Asia; work: Environmental Center Ocean Of Life Indonesia, Watu Kodok, Gunung Kidul, Yogyakarta.
2015.
  • 3rd Place, Citation Of Excellent Architectural Design Reflecting East Asian Identity; work: Wikasatrian (Wika Leadership Center)
  • Winner,  Holcim Awards Indonesia 2015 for Sustainable Construction; work: Ocean Of Life Indonesia, Watu Kodok, Gunung Kidul, Yogyakarta.
  • 2nd Place, Propan Desa Wisata Nusantara Competition; work: strategy concept for Desa Wisata Sembalun Lawang, Lombok, NTB.
  • Tempo Property Award (Hunian Ramah Lingkungan) 2015; works: Taman Tengah Griya Mitra Insani 2 Complex, Cibubur; Puzzle House, West Jakarta; Stilts House, Kelapa Gading, North Jakarta.
2012
  • Winner, Closed Competition (invitee) Wikasatrian (Wika Leadership Center), Pasir Angin, Gadog, Bogor.

2011.
  •  4th Place, Orangutan Research Station Design Competition, West Kalimantan


2010. 
  • 3rd Place, FuturArc Prize 2010 International Competition (A Prototype for Ecological Living): Oasis Social Housing.


2009.
  • Winner, Holcim Award Indonesia 2009 for sustainable Construction; work: Caringin Family ‘Village’ Improvement.
  • Winner, Center of Academic Building Design Competition, Universitas Negeri Makassar; work: Menara Phinisi.
  • Winner, no-reward competition (www.rujak.org); work: co-Housing: 1 house for 4 middle class families.

2008.
  • 5th Place, Universitas Gajahmada Academic Hospital Design Competition, Yogyakarta.
  • 3rd Place, Indogress Façade and Interior Design Competition, Tangerang.

2007.
  • Finalist, closed competition of BPK Penabur International School, Banda, Bandung.
  • 6th Place, Borobudur Park Design Competition, Jakarta; team: Oky Kusprianto
  • Winner, Jakarta Design Center Façade Design Competition.
  • Top 10, Rumah Ide façade Competition.

2006.
  • 3rd Place, Taman Rakyat Cimahi Design Competition

2004.
  • Winner, closed competition BPK Penabur International School, Bahureksa, Bandung.
  • 2nd Place, competition BPK Penabur International School, Singgasana Pradana, Bandung.

1999.
  • Winner, closed competition Gereja Kristen Indonesia Anugerah, Bandung; team: Yohan Tirtawijaya, Herjagus Kurnia, Anton Jo.