7.12.11

scaffolding/perancah



mari bermain-main dengan scaffolding.
biasanya sebagai alat bantu konstruksi.
bagaimana bila kali ini dijadikan struktur bangunan saja? cepat, praktis, modular.
pengisinya lantai, dinding, atap ringan.
misalnya: bondek+cor tipis untuk lantai, bambu untuk dinding, fiber semen untuk atap.
pada tampak luar, scaffolding bisa diperlakukan seperti lemari tanaman.
ada balkon tanaman sepanjang keliling luar bangunan.
desain ini proposal untuk sebuah perpustakaan.
tim desain: yu sing, wilfrid a.wasa, baridah mutmainah








18.11.11

per-INGAT-an PAPUA

































per-INGAT-an PAPUA.

Papua adalah peringatan Indonesia, juga dunia.

Papua adalah ‘tugu’ dunia.

TUGU ironi, kontrakdiksi, paradoks.

Papua sangat kaya juga sangat miskin dan tertinggal.

Papua paru-paru dunia juga dieksploitasi penebangan besar-besaran.

Papua teramat indah juga dirusak amat parah.

Papua dicintai, sangat berharga, dan teramat penting

Sekaligus juga tidak dipedulikan

Dimangsa diberangus dibunuh

Papua adalah peringatan dunia

(sayembara desain) tugu peringatan jayapura menandainya

Menjadi peringatan bagi dunia

Peringatan papua

Peringatan kepada indonesia

Peringatan kepada dunia

Arsitektur sebagai medium, perantara makna

Arsitektur sebagai peringatan

Arsitektur nusantara kini tidak hanya tentang mengkinikan arsitektur tradisional

Tetapi juga menandai jaman

(seperti juga banyak peringatan dan makna kehidupan dalam berbagai elemen arsitektur tradisional)

Per-INGAT-an

PAPUA

november 2011,

yu sing

akar anomali


PERJALANAN MENGHARGAI KONTEKS DAN MENANDAI JAMAN

Sejarah :

Holandia (Kapten Sachse_7 Maret 1910)

Hol = lengkung; teluk land= tanah, tempat yang berteluk.

Holland atau Nederland - geografinya menunjukkan keadaan berteluk-teluk.

Geografi Kota Jayapura hampir sama dengan garis pantai utara negeri Belanda itu. Kondisi alam yang berlekuk-lekuk inilah yang mengilhami Kapten sache untuk mencetuskan nama Hollandia di nama aslinya Numbay.

Numbay diganti nama sampai 4 kali: Hollandia-Kotabaru-Sukarnopura—Jayapura.

Pada tanggal 28 September 1909 kapal "EDI" mendaratkan satu detasemen tentara dibawah komando Kepten Infanteri F.J.P SACHSE, segera dimulai menebang pohon-pohon kelapa sebanyak 40 pohon, tetapi segera pula pembayaran ganti rugi harus dilakukan kepada pemiliknya seharga 40 ringgit atau 40 * f 2,50 = f 100,- (seratus gulden / rupiah).

LANDMARK KOTA JAYAPURA.

Kawasan Landmark Kota Jayapura [LKJ] didesain sebagai sebuah perjalanan sejarah. Pengunjung dihantarkan untuk menikmati seluruh fasilitas sejak dari awal gerbang masuk.

KONSEP PERJALANAN:

1. Gerbang pintu masuk berupa pelataran lingkaran dengan 40 patung dari batang pohon dengan berbagai ketinggian à sebagai tanda 40 batang pohon kelapa sebagai sejarah awal terbentuknya HOLLANDIA.

  1. Perjalanan dihantarkan oleh selasar pilotis yang melayang di atas pantai yang didesain berlekuk-lekuk seperti kondisi geografis Jayapura. KOTABARU sebagai masuknya Irian Jaya kembali ke Indonesia, masih belum banyak pembangunan, karena itu ditandai oleh kumpulan 7 Honai. Pengunjung seperti berjalan di tengah-tengah kampung Honai. Honai difungsikan sebagai awal perjalanan museum, dengan berbagai informasi tentang sejarah awal Jayapura dan Papua pada masa tersebut. Selain itu juga terdapat honai yang cukup besar sebagai toko cinderamata dan kerajinan Jayapura / Papua.
  2. Masa SUKARNOPURA dianggap sebagai masa euphoria pembangunan besar-besaran, karena itu ditandai dengan adanya amphiteater, kolam laut, sarana wisata air dan restoran matahari terbit yang berbentuk busur lingkaran.
  3. Perjalanan menuju JAYAPURA melalui 3 massa silinder sebagai podium menara. Masing-masing massa silinder terdapat ruang cinema, museum utama dengan diorama dan ruang serba guna. Bangunan pada area ‘jayapura’ didesain lebih modern, tanpa meninggalkan karakter organik yang menjadi ciri kawasan landmark kota Jayapura.

KONSEP KONTEKS JAMAN:

Landmark utama ditandai dengan menara berbentuk POHON yang sudah ditebang bagian atasnya. Batang pohon dikelilingi tanaman yang melingkar 10 kali membentuk spiral menuju ke puncak menara.

Konsep MENARA POHON merupakan penanda bahwa Papua merupakan paru-paru dunia yang selayaknya tetap menjaga kelestarian hutan selama pembangunan di masa yang akan datang. Makna paradoks pembangunan dan kelestarian hutan ditandai oleh Menara Pohon Yang Ditebang bagian atasnya. Konsep Menara Pohon juga merupakan sikap kontekstual dalam menandai jaman pemanasan global yang melanda seluruh dunia.

KONSEP BILANGAN:

Tanggal lahir kota Jayapura :

7 – 3 – 1910 =

7 Honai, 3 Silinder Podium, 10 lantai Menara Pohon.

40 batang pohon kelapa = 40 patung sebagai gerbang.

100 tahun = 100 kincir angin di atas restoran. Kincir angin yang digunakan adalah kincir angin yang silinder yang dapat digerakkan oleh angin lebih kecil.

100 tahun pada tahun 2010 à 1000 meter bak tanaman.

KONSEP FLORA DAN FAUNA:

Jayapura merupakan ibukota Papua, karena itu juga dapat dianggap sebagai perwakilan Papua. Papua terkenal dengan kekayaan keanekaragaman flora dan fauna, karena itu dalam Kompleks Landmark Kota Jayapura ditanami berbagai jenis flora yang terdapat di Papua yang cocok dengan suhu daerah pantai. Berbagai jenis flora tersebut menyatu dengan bangunan maupun selasar. Hijaunya bangunan diharapkan membentuk ekosistem baru dengan hadirnya berbagai jenis fauna, terutama burung, kupu-kupu, dan kumbang atau serangga. Selain sebagai penghijauan, bak tanaman sepanjang sekitar 1000 meter berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai lahan pembibitan tanaman untuk menghijaukan Jayapura. Berbagai jenis flora dan fauna lainnya ditampilkan dalam bentuk diorama pada railing ramp luar bangunan. Sehingga Landmark Kota Jayapura bukan hanya museum sejarah, namun juga merupakan museum flora dan fauna.

KONSEP EKONOMI:

Selain fungsi utama, desain ini juga menyediakan fungsi-fungsi lain yang dapat dijual agar perawatan kawasan ini tidak membutuhkan biaya dari luar. Berbagai fungsi yang disediakan yaitu:

  1. Wisata air : banana boat, parasailing, jetski, snorkling, fun cruise, kolam laut.
  2. Ruang Serba Guna : dapat disewakan untuk menampung berbagai acara, misal seminar, pelatihan, resepsi pernikahan, pertunjukan, dll.
  3. Toko souvenir dan kerajinan.

Fungsi ekonomis lain yang termasuk dalam KAK :

  1. Restoran ‘Matahari Terbit’.
  2. Pertunjukan seni dan budaya di amphitheatre.
  3. Anjungan di puncak menara.

KONSEP GENIUS LOCI:

Karakter tempat LKJ didesain organik berlekuk-lekuk, berbagai jenis pohon di sepanjang selasar, dengan aksen-aksen patung dan ornamen khas Jayapura. Berbagai fasilitas publik disediakan untuk menjadikan kawasan LKJ sebagai ruang terbuka kota yang baru. Kayu (termasuk bagian kulitnya) digunakan sebagai material finishing yang utama karena sesuai dengan potensi Jayapura, mudah dalam pengerjaannya, dan relatif ringan sehingga tidak memberatkan struktur. Menara Pohon menjadi penanda yang akan menjadi ikon kota yang mudah diingat. Kolom-kolom struktur beton yang bercabang terinspirasi dari ranting-ranting pohon. Penggabungan karakter ‘primitif’ / rustic dan unsur hijau dengan sistem struktur yang modern menjadi ciri khas usulan rancangan Landmark Kota Jayapura ini, sebagai metafora dari pembauran antara masyarakat lokal dengan pendatang yang bersama-sama berkomitmen membangun masa depan Jayapura yang lebih baik.

Tim desain: yu sing, benyamin narkan, eguh murthi pramono, pratiwi tanuwihardja, iwan gunawan.

karya dapat juga dilihat di: http://www.coroflot.com/yusing/sayembara-landmark-jayapura


19.10.11

integritas arsitektur

untuk: http://membacaruang.com/2011/10/10/edisi-052011/

dapat juga dilihat di: http://issuu.com/akudanruang/docs/ruang05-2011?AID=10752329&PID=3662453&SID=skim725X725290X2fee66158777c05fd6b90e5bb2d3cb53


makna.

Bila kita berkaca pada arsitektur tradisional/nusantara, arsitektur sanggup melampaui batas-batas fisik (fungsi arsitektur). Arsitektur juga dipakai sebagai medium bagi makna kehidupan yang lebih luas (nenek moyang kita menitipkan warisan makna di berbagai hal, tidak hanya melalui elemen arsitektur, tetapi juga melalui dongeng/cerita rakyat, lagu daerah, motif ornamen, motif tenun, motif batik, dll). Misalnya dalam tata ruang kampung adat sunda, sampai sekarang wilayahnya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: permukiman, perkebunan, hutan keramat.

Arsitektur tidak hanya tentang tipologi rumahnya (yang juga banyak makna) tetapi juga keseimbangan lingkungan alamnya yang terbukti lestari. Bumi kita akan memiliki keseimbangan alam yang baik bila prinsip ini dipakai pada setiap perencanaan lahan.

Pada motif dayak perintai lima memiliki makna peringatan pada manusia untuk memelihara kelestarian hutan agar tidak rusak oleh ulah manusia sendiri. Tampaknya peringatan ini sudah dilupakan, setiap tahun 1,5-2 juta hektar hutan di Indonesia hilang akibat berubah fungsi. Tentu saja keseimbangan alam terganggu, gajah, orangutan, burung, dll kehilangan tempat tinggal. Motif dayak dengan makna yang adiluhung menjangkau kelestarian masa depan, telah melampaui fungsinya sebagai ornamen semata. Lagi-lagi (elemen) arsitektur sebagai medium makna dapat melampaui fungsi arsitektur semata.

Demikian pula proses upacara dalam pendirian banyak rumah adat di indonesia seringkali berhubungan dengan kepercayaan masyarakat akan nilai-nilai ilahi, kesejahteraan dan keselamatan warga, juga penghormatan/penghargaan terhadap alam. Budaya upacara tersebut diwariskan turun temurun menjadi tradisi. Tradisi melahirkan integritas masyarakatnya apabila memahami dan menghidupi makna yang terkandung dalam tradisi tersebut.


integritas.

Pentingnya integritas (budaya tradisi, cara memandang hidup, cara menjalani hidup) seringkali dijaga dengan cara membatasi pengaruh luar modernisasi. Misalnya lagi di kampung2 adat sunda, modernisasi dibatasi atau dilarang. Pelestarian budaya adat membuatnya menjadi latar pembelajaran banyak pihak, termasuk peneliti2 luar negeri. Kampung adat menjadi menarik karena berani berbeda. Tidak mudah larut dalam globalisasi keseragaman. Bahkan dalam beberapa kampung, jumlah warga dibatasi, kemungkinan juga karena kesadaran atas keterbatasan daya dukung lingkungan. Hal ini bertolak belakang dengan kecenderungan 'manusia modern' yang relatif lebih suka mengeksploitasi alam demi keuntungan sesaat.

Dapat dibayangkan betapa sulitnya warga kampung adat itu memelihara integritas (nilai2 hidupnya) dalam menghadapi kecepatan perubahan jaman.

Beberapa juga terjadi asimilasi tanpa meninggalkan akar budayanya. Melalui integritas, nilai-nilai kebijaksanaan filosofi hidup terpatri dalam cara hidup keseharian. Arsitektur bukan hanya tentang proporsi, komposisi, teknis konstruksi tetapi juga tentang menemukan diri. Budaya membantu manusia menemukan dan memiliki integritas.

Dalam dunia saat ini, manusia dituntut berjalan makin cepat, bertindak cepat, berpikir cepat. Tidak ada cukup ruang dan waktu bagi perenungan. Mungkin juga bagi budaya. Perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang menyaksikan evolusi pemusnahan budaya yang beragam. Keseragaman (arsitektur) terjadi dari aceh sampai papua (1). Arsitektur tradisional hanya masa lalu yang layak dilestarikan saja tanpa dikembangkan sesuai konteks masa kini, seolah-olah seperti itulah yang terjadi.

Manusia yang meninggalkan budaya seringkali juga melupakan pentingnya integritas. Larut dalam arus dunia (yang lebih mementingkan popularitas).


Keberpihakan.

Ilmu pengetahuan dikembangkan untuk kesejahteraan semua mahluk. Arsitektur bukan hanya untuk melayani dirinya sendiri. Arsitektur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan alam, budaya, dan kemanusiaan (selain hal-hal teknis teknologinya). Dengan demikian, arsitek bersama arsitekturnya perlu menempatkan diri dalam konteks persoalan yang dihadapi alam, budaya, dan manusia.


Alam.

Sungguh sayang, arsitektur selama ini cenderung dimiskinkan dengan hanya melayani kepentingan ekonomi. (Keseimbangan) Alam merupakan hal paling pertama yang dikorbankan. Koefisien Dasar Bangunan/KDB hanya hitungan matematis dan diakali. Ruang bawah tanah diberikan koefisien yang lebih besar dari KDB. Sisa KDB dijadikan area perkerasan parkir. Ruang terbuka hijau nyaris nihil. Pepohonan hanya pemanis yang dibuat-buat. Arsitektur hanya barang dagangan, yang mudah dilacurkan untuk kepentingan ekonomi. Uang rajanya. Apapun dapat dibeli. Arsitek tak berdaya. Peraturan mandeg demi uang pelicin yang besar. Seolah-olah ekonomi adalah monster rakus kekanak-kanakan yang harus selalu menang, tidak bisa dihentikan. Alam jadi bulan-bulanan. Berarsitektur makin sulit dan mahal ketika alam makin rusak.


Budaya.

Bumi diciptakan Sang Pencipta dengan beraneka kondisi alam. Konteks berbeda-beda melahirkan budaya yang juga beraneka ragam. Budaya dan kondisi alam yang bhineka melahirkan pula arsitektur

yang bhineka (2). Namun kecenderungan era globalisasi dan informasi ini justru keserupaan dan keseragaman. Kekayaan (arsitektur) nusantara berada terutama di bawah tanggung jawab arsitek yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah Indonesia (3). Pengembangan arsitektur nusantara dalam konteks kekinian terutama merupakan tantangan arsitek-arsitek indonesia, yang juga telah diperkaya oleh ilmu-ilmu arsitektur yang sebagian besar tumbuh di barat. Kekayaan warisan masa lalu sepantasnya pula melahirkan karya-karya arsitektur nusantara mengkini yang kaya dan bhineka. Karya-karya tersebut akan menjadi karya-karya arsitektur yang khas dan berakar pada budaya Indonesia (yang beragam). Dan selanjutnya dapat ikut memberi warna pada kebhinekaan arsitektur dunia.


Manusia.

Keberpihakan arsitektur tidak lengkap tanpa melayani kemanusiaan. Arsitektur merupakan kebutuhan semua manusia tanpa kecuali dan tidak terbatas oleh kalangan ekonomi atas saja. Namun selama ini arsitektur lebih condong melayani kebutuhan ekonomi semata-mata (seringkali juga alam dan budaya dikorbankan).

Kemiskinan adalah keniscayaan yang hadir di semua negara. Angka kemiskinan di Indonesia cenderung tinggi dan kalangan hampir miskin sangat rentan untuk jatuh miskin ketika berhadapan dengan aneka kenaikan harga atau krisis (4).

Perhatian lebih banyak hendaknya diberikan kepada golongan yang lebih lemah. Kenyataannya pemerintah kota pada umumnya lebih berpihak kepada kepentingan golongan menengah dan atas, termasuk menyerahkan kebijakan pada hukum rimba pasar yang tidak adil. Pemilik modal besar makin menguasai pusat-pusat kota. Masyarakat kecil semakin tersisih ke pinggiran kota dengan biaya transportasi yang lebih mahal dan waktu bersama keluarga yang makin sedikit.

Di banyak kota di Indonesia, perkembangan mini-supermarket dan mal menjamur di berbagai pelosok. Warung-warung rakyat kecil dan pasar tradisional makin sulit bertahan karena tidak terlindungi dan dibiarkan melawan hukum rimba ekonomi. Jauh lebih sulit menemukan mahasiswa dan arsitek Indonesia yang hebat mendesain pasar tradisional daripada fasilitas komersial mewah.

Lebih sulit pula menemukan fasilitas pedagang kaki lima yang dirancang dengan baik daripada berita-berita pengusurannya di berbagai kota (5).


Arsitek merupakan profesi yang sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pemilik modal sebagai pemberi tugas. Arsitek dengan demikian menjadi profesi yang sangat rentan. Bila bertemu dengan pemberi tugas yang peduli pada alam, budaya, dan manusia, maka arsitek diuntungkan karena mengerjakan karya yang juga akan bernilai positif. Tapi sebaliknya bila pemberi tugas hanya mementingkan nilai ekonomi semata-mata, menghalalkan segala cara untuk keuntungan ekonomi saja, arsitek pun ikut terlibat di dalamnya. Namun arsitek sebetulnya juga memiliki pilihan. Pilihan untuk menjaga integritas, melalui proses diskusi memberikan banyak pertimbangan kepada pemberi tugas untuk juga peduli kepada alam, budaya, dan manusia. Atau menolak pekerjaan-pekerjaan yang bertentangan dengan hati nurani (walaupun memiliki nilai ekonomi yang besar). Betapa terlalu banyak sudah proyek-proyek yang merusak alam, budaya, manusia. Betapa terlalu banyak sudah kebocoran uang rakyat pada proyek-proyek gedung pemerintah di negara ini. Tapi masih bisakah arsitek Indonesia menolak pekerjaan? Apakah integritas masih dipentingkan? Apakah arsitek hanya bisa menunggu? Atau masih bisa ‘menciptakan’ kesempatan untuk berkarya demi kebaikan alam, budaya, manusia?



(1) secara sederhana, keseragaman terjadi pada rumah2 yang dibangun pada perumahan di aceh sampai papua.

(2) bumi milik Sang Pencipta, bukan negara-negara. Negara hanyalah batas politis. Bumi idealnya tanpa negara. Masing-masing negara saat ini bertanggung jawab mengelola batas wilayahnya kepada Sang Pemilik. Bukan untuk dinikmati atau dieksploitasi hanya demi kepentingan negaranya sendiri, tetapi juga bagi kepentingan semua mahluk.

(3) tidak ada satupun kelahiran yang kebetulan. Tidak akan ada kelahiran tanpa ijin Sang Pencipta. Kalau bukan kebetulan, tentulah setiap orang dilahirkan dengan maksud/tujuan tertentu.

(4) Biro Pusat Statistik mencatat Maret 2011 mencatat jumlah orang miskin sebesar 30,02 juta orang atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia (melebihi jumlah penduduk Malaysia yang sekitar 26,79 juta pada tahun 2010. http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2010/12/23/jumlah-penduduk-miskin-indonesia-melebihi-penduduk-malaysia/). “Sebagai perbandingan, Jumlah penduduk Miskin di Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada maret 2010 adalah hanya 13,33 persen atau 31,02 Juta jiwa dengan standar Garis kemiskinan nasional sebesar Rp211 ribu per bulan per orang yang diukur berdasarkan pemenuhan makanan pokok sebesar Rp155.615/bulan dan non-makanan Rp56.000/bulan. Berbeda data dari Bank Dunia dengan Ukuran kemiskinan Pengeluaran US$ 2 per hari, maka penduduk miskin di Indonesia mencapai 59% atau sekitar 120 juta jiwa. Perbedaan angka yang signifikan ini wajar mengingat standar serta metodologi yang digunakan oleh BPS dan Bank Dunia jelas berbeda.”

sumber: http://birokrasi.kompasiana.com/2011/07/15/8102-masih-relevankah/

(5) jumlah masyarakat yang bekerja di sektor informal (termasuk di dalamnya pedagang kaki lima) ternyata sangat tinggi. 99,91% pengusaha indonesia adalah kelompok usaha kecil dan mikro! dengan tenaga kerja 90 jutaan orang. Betapa ironi mereka yang sering digusur, tidak diberi t4 dlm perencanaan kota, kena pungutan2 liar. Negara (penguasa, dpr,mpr) masih saja durhaka pada rakyatnya! (BPS 2009, http://www.solopos.com/2011/ekonomi-bisnis/menteri-koperasi-ukm-pasar-tradisional-hilang-5-6-tahun-lagi-98015). Solo merupakan kota yang dapat dijadikan teladan dalam melindungi masyarakat kecil. Di bawah kepemimpinan walikota Jokowi (panggilan akrabnya) perijinan mal, mini-supermarket sangat dibatasi. Renovasi perbaikan pasar tradisional mendapat dana belanja daerah yang cukup besar. Pengelolaan pasar dipantau secara berkesinambungan. Pedagang kaki lima disediakan tempat berdagang di beberapa wilayah kota yang telah disiapkan dan direncanakan sebelumnya.


juni-agustus 2011,

yu sing

22.6.11

stasiun riset orangutan kalimantan

ini merupakan karya sayembara stasiun riset orangutan di kalimantan barat.

walaupun cuma pemenang ke-4, kami puas sekali dengan proses desainnya.

desainnya menyenangkan karena menemukan cara baru dalam mengkinikan arsitektur nusantara.

bagi kami, arsitektur tradisional perlu terus dikembangkan, tidak hanya berhenti, mati, lalu fotokopi tanpa perubahan. budaya itu proses. hidup. senantiasa berkembang. tentu juga karena konteks jaman yang sudah berbeda. jadi, selain pelestarian (karya masa lalu), juga perlu pengembangan.

dan dalam prosesnya ada reinterpretasi. penerjemahan nilai2.

dalam karya ini, kami membuat desain atas dasar makna2 kehidupan yang lebih luas. melampaui (fungsi) arsitektur. arsitektur bisa menjadi medium bagi makna kehidupan yg lbh luas. karena begitu juga arsitektur tradisional. nenek moyang kita menitipkan banyak makna (hidup) lewat berbagai elemen arsitektur (sebetulnya dlm banyak aspek, misalnya motif, tenun, batik, ukiran, dongeng, lagu rakyat, dll selalu penuh makna).

pembentukan arsitektur melalui pemaknaan sesuai konteks jaman dan lokasi serta fungsinya.

menghidupkan kembali arsitektur nusantara. seperti menciptakan arsitektur vernakular baru.

salam

yu sing