16.3.10

OASIS SOCIAL HOUSING

http://www.facebook.com/note.php?note_id=429349434809&id=121480094561&ref=mf
















Bandung adalah salah satu kota terpadat di Indonesia, yang mencapai 13,927 jiwa/km2. Salah satu kawasan hunian paling padat di kota Bandung adalah kawasan hunian Pagarsih (kecamatan Bojongloa Kaler), dengan jumlah penduduk 39,240 jiwa/km2 (2007). 
Currently, the population density of Bandung, the capital city of West Java Province, has reached 13,927 people/km2 (2007), while Jakarta has only 13,203 people/km2 (2009). Furthermore, the most dense residential area in Bandung is Pagarsih in Bojongloa Kaler subdistrict, with a population of 39,240 people/km2 (2007). T
Salah satu persoalan di kota-kota besar Indonesia adalah berkurangnya ruang terbuka hijau terus-menerus akibat komersialisasi atas tanah dan masih sangat kurangnya kesadaran pengembang dalam pembangunan berkelanjutan. Isu-isu bangunan hijau seringkali hanya menjadi slogan sebagai alat marketing tanpa betul-betul dilaksanakan secara konsisten. Ruang terbuka hijau di kota Bandung saat ini hanya 6% (2008) yang seharusnya mencapai 30% dalam peraturan pemerintah.
On the other hand, one of the most common problems in Indonesia big cities is the continual decrease of green open spaces due to land commercialization and developer’s lack of awareness on sustainable construction. Unfortunately, green construction issues often become a slogan which serves merely as a marketing tool, and not being implemented seriously and consistently. Nowadays , green open spaces in Bandung barely amount to 6% (2008), in contrast to the 30% required by government regulation.
Dalam mengatasi persoalan kekurangan pasokan hunian dan mengejar kekurangan ruang terbuka hijau, pemerintah pusat mencanangkan program 1000 tower rumah susun (2004). Dalam prakteknya, termasuk beberapa bangunan tinggi rumah susun yang telah dibangun sebelumnya, seringkali tidak dapat menjangkau masyarakat dengan pendapatan rendah. Demikian juga rumah-rumah susun yang telah dan sedang dibangun saat ini, hampir seluruhnya ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah yang lebih mampu dan seringkali berasal dari luar kawasan menara rumah susun tersebut dibangun.
In order to deal with the backlog of affordable housing and to suffice the lack of green open spaces, Indonesia central government has launched a 1,000-towers low-cost apartments building program (2004). In reality, this program hasn’t become a best solution for low-income communities, because it is still unaffordable for them. Almost all of The low-cost apartments which have previously been built and/or are currently being built are only affordable for middle-class income people. They generally come from outside of the areas where those apartments are being built which has created the gentrification process in the areas.
Kawasan hunian padat masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah seperti di pagarsih ini --lokasi oasis social housing, urban village improvement programme— memiliki berbagai persoalan akibat kepadatan penduduk seperti sanitasi yang buruk, kesehatan warga, banjir, ruang terbuka hijau yang minim serta hunian yang tidak layak dan pengap. Sebagai contoh, salah satu rumah satu lantai di atas lahan seluas 100m2 ditinggali oleh 6 keluarga yang terdiri atas 20 orang dan hanya memiliki 1 buah kamar mandi. Oasis social housing merupakan usulan desain untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, agar dapat memperbaiki kualitas hidup warganya melalui perbaikan hunian, lingkungan, dan pengadaan ruang-ruang sosial.
A dense residential area inhabited mostly by people with middle and low income, such as Pagarsih – the location of this proposed Oasis Social Housing, Urban Village Improvement Program – usually has various problems, such as: poor sanitation, poor public health, floods, lack of green open spaces, and indecent and poorly ventilated houses. For example, there is a a one-story house on 100m2 area which is occupied by 6 families, consists of 20 people and has only 1 bathroom. Oasis Social Housing is a design proposal offered to deal with those above mentioned problems. We hope that it will be able to enhance the life quality of Pagarsih residents through improvement of the residential area including its environment and by creating more areas to accommodate their social interactions.
Oasis social housing harus berupa hunian bersama yang terjangkau dan berkelanjutan agar dapat memiliki dampak perubahan bagi lingkungan hunian padat di sekitarnya maupun di tempat lain. Lokasinya berada di salah satu blok hunian padat pagarsih yang terletak di dalam gang, dengan luas lahan 1,684m2, terdiri atas 37 rumah, dihuni oleh 223 orang. Pekerjaan warga sangat bervariasi (pemijat, pedagang, sablon kaos, pegawai, dll) dan lebih banyak berada di sektor infomal. Sebagian warga sudah tinggal sejak 60 tahun yang lalu, karena itu banyak di antara mereka yang berada di sana sejak lahir. Selain itu, sekitar 25% warga merupakan pendatang atau kaum migran yang menyewa rumah atau kamar.
To encourage a transforming impact in the surrounding densely populated areas, this Oasis Social Housing has to be an affordable and sustainable housing solution. The proposed location is located in one of Pagarsih small alleys, on 1,684m2 area which consists of 37 houses and inhabited by 223 people. The residents have various occupations such as: masseurs, sales persons, t-shirt makers, employees, etc; most of them work in informal sectors. Some of those residents have been living there for 60 years, many of them have lived there ever since they were born. Others, around 25% of the residents are newcomers or residents from other area/cities who rent a house or a room there.
HUNIAN DAN TATA GUNA LAHAN
HOUSING AND LAND USE
Tidak dapat dihindarkan, akibat Koefisien Dasar Bangunan (gross ratio) eksisting sekitar 90%, hunian warga perlu dirubah menjadi bangunan bertumpuk dengan ketinggian maksimal 5 lantai. Dengan demikian biaya pembangunan, infrastruktur, perawatan bangunan masih relatif murah, terjangkau, dan tidak terjadi penumpukan warga di lantai dasar pada lokasi yang sempit. Untuk memfasilitasi keanekaragam aspirasi dan kebutuhan warga, Oasis Social Housing menyediakan 4 tipe hunian, yaitu rumah tunggal kembar 3 lantai (twin house), co-housing 4 lantai untuk 5 keluarga, boarding house 4 lantai, dan low cost apartment 5 lantai. Lantai dasar dari Co-Housing, Boarding House, dan Low Cost Apartment digunakan sebagai ruang sosial warga. Fungsi-fungsi yang disediakan yaitu area workshop sebagai ruang kerja pemilahan dan daur ulang sampah warga menjadi produk yang dapat dijual, warung, dapur dan ruang makan bersama, taman bermain anak, perpustakaan warga, kamar mandi umum, kantor koperasi, dan kantor pengurus warga. Koefisien Dasar Bangunan yang baru menjadi hanya 45.69% dari total luas lahannya (sudah termasuk lapangan bulutangkis, reservoar air, bak biogas dan sarana filterisasi air kotor).
Due to the existing Building Coverage Ratio (BCR) of approximately 90%, it is inevitable that the structures of the housing need to be converted into 5-stories high buildings (maximum). Hence the cost of construction, infrastructure, and building maintenance will still be relatively cheap and affordable. There will also be no over-accumulation of residents within the limited space on the first floor. To facilitate various aspirations, characters and needs of residents, Oasis Social Housing will provide 4 types of residential facility. There are 3-stories Twin Houses, 4-stories Co-Housing fit for 5 families, 4-stories Boarding House, and 5-stories Low Cost Apartment. The ground floors of Co-Housing, Boarding House, and Low Cost Apartment will be used as communal social interaction spaces. The functions provided within those spaces are: workshop areas (which can be used as working space where residents can sort and recycle trash into saleable products), stalls, communal kitchens and dining-rooms, children playgrounds, communal libraries, communal bathrooms, a cooperative (economic enterprise) office, and residents management office. Thus the new building coverage ratio will be only 45.69% of the total area (a badminton field, water reservoir, biogas large container, and grey water filter facility, are already included).
Sisa lahan seluas 54.31% digunakan sebagai amphitheater, perkebunan (sayuran, rempah-rempah, tanaman obat dan buah-buahan), kebun bambu produktif sebagai material rumah, serta kolam ikan warga. Area perkerasan seperti jalur pedestrian dan area parkir motor menggunakan grassblock, sehingga air hujan masih dapat menyerap ke dalam tanah.
The 54.31% total remaining area will accommodate an amphitheatre, a communal farm (to plant vegetables, spices, herbal plants, and fruits), a productive bamboo garden that produces bamboo for housing material, and residents’ fish ponds. Grassblocks will be applied in solid areas, such as: pedestrian pathway and motorcycle parking areas, so that rain can still be absorbed into the soil.
Tata bangunan diatur secara cluster, membentuk ruang terbuka bersama di tengah lahan. Bentuk bangunan merupakan metafora dari interaksi manusia. Twin house metafora dari 2 orang yang berdampingan. Co-Housing metafora dari 4 orang yang sedang berpelukan membentuk ruang kosong di tengah. Boarding House metafora dari 4 orang yang saling bergandengan tangan. Low Cost Apartment metafora dari 8 orang yang saling menggendong sambil bergandengan tangan. Seluruh bangunan merupakan susunan dari ruang-ruang kotak modular (4mx4m) untuk menghemat biaya pembangunan. Skala ruang yang terbentuk di antara bangunan yang berbeda-beda menciptakan suasana akrab tanpa membuatnya menjadi tertutup atau terasing dari lingkungan sekitarnya. Celah-celah pada bangunan maupun antar bangunan memungkinkan kesinambungan visual, pencahayaan alami, serta aliran angin dan ventilasi silang dapat mencapai keseluruhan ruang. Batas antar ruang dalam tidak menggunakan dinding tetapi menggunakan furnitur yang fungsional. (Seluruh furnitur akan menggunakan kayu-kayu lokal bekas atau bambu).
The buildings are arranged as a cluster, creating a communal open space in the middle of the area. The shapes of the buildings are metaphors of human interactions. The Twin House is a metaphor of two people standing side by side. The Co-Housing is a metaphore of 4 people who hug each other on their shoulders, creating an empty space in the center. The Boarding House is a metaphore of a row consists of 4 people holding hands together. The Low Cost Apartment is a metaphor of two rows consist of 4 people holding hands together, one row is standing on top of the shoulders of people in the other row. The whole buildings are stacks of modular (4mx4m) boxes to save the construction cost. Spaces that formed between various buildings create a cozy atmosphere and intimate scale of space without blocking it from the surrounding environment. The voids among or between buildings allow visual continuity, natural lighting, good air flow, and cross ventilation for all rooms. Walls are not built to divide the interior, functional furnitures will be strategically placed instead to serve the purpose. All furnitures will be made of used local wood or bamboos.
PEMANFAATAN ENERGI, MANAJEMEN LIMBAH DAN LOKALITAS
ENERGY CONSERVATION, WASTE MANAGEMENT AND LOCALITY
Pembangunan berkelanjutan akan memiliki dampak yang semakin besar apabila dapat diaplikasikan ke dalam bangunan hijau yang terjangkau dan murah. Terutama dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia. Semakin terjangkau sistem bangunan hijau, maka semakin banyak masyarakat yang dapat mengaplikasikannya pada bangunannya masing-masing. Karena itu, desain Oasis Social Housing tidak tiba-tiba menggunakan teknologi tinggi dan termodern yang membutuhkan biaya tinggi. Kearifan lokal (local wisdom) pada arsitektur vernacular sejak sebelum ada pendidikan arsitektur di Indonesia, telah mengaplikasikan prinsip-prinsip bangunan hijau dan berkelanjutan karena sikap hidup masyarakat di masa lalu yang umumnya amat menghargai alam dan menjaga keseimbangannya. Kesederhanaan nilai-nilai lokal inilah yang menjadi sumber inspirasi dan dikembangkan lebih lanjut untuk menciptakan Oasis Social Housing (OSH) sebagai bangunan hijau dan berkelanjutan yang murah dan terjangkau bagi warganya.
Sustainable construction would have a greater impact if it could be applied in low-cost and affordable green buildings, particularly within the context of developing nation such as Indonesia. The more affordable those green buildings are, the more people will be able to apply sustainable construction in their buildings/houses. Thus, Oasis Social Housing design chooses not to apply high-end and the latest technology which will require higher cost. The local wisdom of vernacular architecture has applied the principles of green and sustainable buildings, long before there was formal education on architecture in Indonesia. The traditional way of life usually pays a great respect to nature and recognizes the importance to preserve the harmony of nature. The simplicity of these local values then become the source of inspiration and are further developed to create the Oasis Social Housing (OSH) as green and sustainable, low-cost, and affordable buildings for the people.
Arsitektur lokal di kota Bandung dapat mengacu kepada arsitektur tradisional Suku Sunda. Masyarakat tradisional Sunda sejak jaman dahulu membagi wilayahnya menjadi 3 bagian, yaitu hunian, perkebunan, dan hutan lindung. Dalam OSH, pembagian lahannya diadaptasi menjadi hunian, communal farm, dan hutan bambu mini / kebun bambu produktif yang harus dipertahankan sebagai sumber material pengembangan atau perbaikan hunian. Seperti halnya arsitektur tradisional Sunda, hunian pada OSH ditata secara cluster dan berorientasi ke ruang terbuka di tengah. Seluruh unit hunian didesain seoptimal mungkin mendapat pencahayaan alami dan ventilasi silang. Sebagai implikasi logisnya, seluruh bangunan dalam hunian berupa bangunan tipis dengan bentang kecil (berupa pengembangan modular 4mx4m). Keberadaan bangunan yang lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya yang belum diperbaiki, menuntun bangunan-bangunan pada OSH (walaupun lebih tinggi dari bangunan sekitarnya) tidak boleh menghalangi aliran angin ke segala arah. Hampir seluruh bangunan OSH (kecuali Twin House) berupa panggung (pilotis) dengan lantai dasar berupa ruang terbuka tanpa dinding masif. Selain itu bangunan yang cukup besar diberi lubang void horisontal pada level lantai yang berbeda-beda agar angin dapat mengalir bebas. Selain untuk mengalirkan angin, anatomi kaki-badan-kepala bangunan OSH merupakan adaptasi dari prinsip anatomi arsitektur tradisional Sunda. Proporsi atap sebagai bagian dari kepala bangunan yang cukup dominan pada arsitektur tradisional Sunda ditransformasi ke dalam bentuk atap yang unik dan menjadi bagian dari façade bangunan yang menarik perhatian.
The local architecture in Bandung can easily refer to Sundanese traditional architecture. Sundanese traditional community for a very long time has divided their area into 3 sections, they are: housing/residential section, farms, and protected forest. In OSH, the division of area is adapted into housing/residential part, communal farm, and mini bamboo forest/productive bamboo garden which will have to be taken care of as the source of development or housing repair material. As is the case in Sundanese traditional architecture, the housing/residential part in OSH is arranged as a cluster and oriented towards the open space in the center. All housing units are designed to benefit from natural lighting and cross ventilation as much as possible. As the logical implication, all buildings within the residential part are slim buildings with narrow width (alteration of 4mx4m modular boxes). The existance of buildings taller than those that have not been improved in surrounding area, lead the OSH buildings (although they are taller than the surrounding buildings) not to block the air flow to all direction. Almost all OSH buildings (except the Twin House) are built on raised platforms (pilotis) with the ground floors appear as open spaces devoid of massive walls. In addition, quite large buildings are equipped with horizontal voids on different levels, so that the air can flow freely. Other than letting the air flow, the anatomy of the head, body, and feet of OSH buildings are adaptation of Sundanese traditional architecture anatomy principle. Roof proportion as the head part of building that is quite dominant in Sundanese traditional architecture, is transformed into uniquely shaped roof and becomes part of attractive building façade.
Kearifan lokal masyarakat tradisional Sunda dalam memelihara keseimbangan alam diangkat menjadi sumber inspirasi untuk manajemen limbah OSH. Manajemen limbah OSH diatur agar dapat mengurangi beban lingkungan semaksimal mungkin dan dapat mentransformasi energi menjadi energi terbarukan yang bermanfaat. Daun-daun kering, sebagian sampah organik warga dimanfaatkan menjadi kompos. Karena itu disediakan rumah kompos. Air hujan pada atap bangunan akan dipanen dan air kotor (grey water) hunian warga difilterisasi oleh tanaman secara alami untuk dapat digunakan kembali sebagai sumber air bersih untuk menyiram tanaman, flush toilet, atau untuk mencuci motor warga. Kotoran warga (black water) ditampung untuk menghasilkan biogas bagi api kompor dapur umum. Lubang-lubang biopori menyebar di seluruh lahan untuk meningkatkan daya serap air hujan oleh tanah, sekaligus juga tempat pembuangan sampah organik warga yang kemudian berubah secara alami menjadi kompos oleh bakteri-bakteri di dalam tanah.
The local wisdom of Sundanese traditional community in preserving the harmony of nature is highlighted as the source of inspiration for OSH waste management. OSH waste management is set up to reduce environment burden as much as possible, and be able to transform the energy into useful renewed energy. Dry leaves and some of residents’ organic waste will be processed and turned into compost. Hence there will also be a compost house. Rain water on the roofs will be harvested to be reused, while residents’ grey water will be naturally filtered by plants, and then be reused as clean water source to water the plant, flush the toilet, or to wash their motorcycles. The residents’ black water will be intercepted and processed to produce biogas, which later can be used to fuel the stoves in communal kitchens. Biopory holes will be spread all over the area in order to improve the absorption of rain water by soil, and at the same time become places where residents can throw in their organic waste which in time will be changed naturally into compost by bacteries within the soil.
Sampah-sampah non organik dipilah untuk kemudian didaur ulang oleh warga sebagai bahan baku perlengkapan rumah tangga (misalnya tas belanja, dompet, kotak majalah atau payung dari plastik kemasan dan kertas bekas) atau produk-produk kerajinan. Produk-produk daur ulang tersebut dapat dijual oleh koperasi sebagai penghasilan tambahan bagi warga. Proses pembuatan produk daur ulang dapat melibatkan ibu-ibu atau anak-anak warga pada waktu luang mereka. Di lantai dasar OSH disediakan cukup banyak ruang multifungsi yang fleksibel dan ruang workshop warga.
Non-organic waste will be sorted out and then recycled by residents as materials to make shopping bags, wallets, magazine box, umbrella, or other hand-made products. Those recycled products can be marketed at the cooperative economic enterprise and become additional income for residents. Women and older children can participate in the production process of recycled products during their spare time. The ground floors of OSH will provide ample space which are flexible and multifunction.
STRUKTUR DAN MATERIAL
Sistem struktur yang digunakan merupakan perpaduan struktur beton bertulang pada bagian bawah bangunan dengan struktur kayu bekas pada bagian atas bangunan (2 lantai teratas). Dengan demikian beban bangunan menjadi lebih ringan dan biaya konstruksi relatif lebih murah, tanpa mengurangi kekakuan struktur bangunan. Dalam radius 2 km dari lokasi, terdapat cukup banyak pusat penjualan material bekas. Kecuali struktur utama (beton bertulang), semen, instalasi air dan listrik, seluruh rumah menggunakan material bekas dengan tambahan material bambu (yang telah diawetkan). Batu bata merah, genting keramik, terakota, rooster keramik & beton, batu alam, batako, kayu keras, grassblock, pavingblock, kayu pinus bekas peti kemas, glass block, berbagai jenis kaca, keramik, teraso, ubin, dll. Bukan hanya material bekas yang sengaja dibeli atau bekas rumah eksisting, namun juga material-material bekas proses pembangunan rumah ini akan digunakan kembali. Pecahan-pecahan bata merah/batako (sbg dinding mosaik), kerikil & batu2 kecil bekas saringan pasir (sbg lantai batu sikat), kayu perancah (dibelah, diserut, dpt menjadi plafon interior), papan bekas bekisting (sbg plafon/dinding/bangku), dst. Seluruh pewarnaan menggunakan warna asli material rumahnya, tanpa cat, dapat pula membuat campuran acian semen dengan serbuk/tepung genting bekas untuk mendapatkan acian yang kemerahan, atau dengan campuran pewarnaan alami lainnya.
STRUCTURE AND MATERIAL
Structural system applied is a combination between concrete structure in the lower part of the building and used wood structure in the upper part of the building (2 top floors ). Thus the building’s burden will be lighter and the construction cost will be relatively cheaper, without reducing the rigidity of construction structure. Within 2 km radius of the location, there are quite a lot of used materials trading center. Other than the main concrete structure, cement, water and electric instalation; used materials will be applied on the rest of the building with the additional of preserved bamboo material. Red brick, ceramic roof-tile, terracota, rooster ceramic & concrete, natural stone, concrete brick, hard wood, grassblock, pavingblock, used pine wood container, glass block, various kinds of glass, ceramic, ‘teraso’, tile, etc. Besides used materials which are bought on purpose and remnants of existing houses, materials used during the construction process will also be reused. Splinters of bricks/concrete brick (used in mosaic walls), pebbles & small stones left on the sand filter (used as rubbed stone floor), scaffolding wood (cut and planed, then be used as interior ceilings), used ‘bekisting’ board (as ceilings/walls/benches), etc. The original color of the house materials will be preserved, no paints will be applied. However, a mixture of cement and ‘mill’ (powder of used roof tiles) can be made in order to get reddish color cement mixture, or other mixture to get other natural coloring.
Pemilik hunian dapat terlibat secara intensif dan pribadi dalam menentukan dan menyusun mosaik material huniannya. Selain murah, ramah lingkungan, hemat energi, penggunaan material2 bekas tersebut dapat meningkatkan suasana yang alami, rustic, dan hampir tidak memerlukan perawatan selama hunian ini digunakan. Bahkan sangat dimungkinkan pula terjadi perubahan-perubahan material-material tersebut selama hunian digunakan sebagai bagian dari eksperimen material sesuai keinginan pemilik tanpa kuatir ‘merusak atau mengganggu’ keindahan rumah secara keseluruhan.
Berbagai macam material-material bekas tersebut dirangkai sebagai kesatuan mosaik, bukan terdiri dari sedikit jenis material saja, agar tidak sulit dalam mengumpulkannya, apa saja dapat berguna. Jumlah material bekas memang tidak dapat dipastikan.
The residents can intensively and personally participated in deciding and arranging material mosaic to be applied in their residence. Other than cheaper, more environment friendly, and more energy saving, the usage of those used materials can also enhance the natural rustic atmosphere, and they almost don’t require any maintenance as long as the buildings are inhabited. It’s even highly possible to modify those materials as part of material experiment on resident’s whim without any worries to ‘damage or disturb’ the beauty of the whole house. However, the amount of used materials cannot be determined precisely. Since those various used materials will be arranged as a mosaic, not just a few materials, so it’s better to collect them as many as possible, for anything can be useful.
SISTEM PEMBIAYAAN
OSH akan dikelola bersama-sama antara LSM sebagai pendamping masyarakat dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah membuat peraturan agar dapat menjaga kelestarian lingkungan kawasan hunian OSH dan mengatur perbandingan hunian dengan ruang terbuka hijau dan kepadatan yang diijinkan. Biaya pembangunan berasal dari gabungan anggaran pemerintah daerah dan dana yang dikumpulkan oleh LSM tersebut. Warga diberikan kredit cicilan ringan dalam waktu 10-15 tahun. Wilayah OSH akan dilakukan konsolidasi lahan. Sebagian warga yang memiliki sertifikat hak milik atas tanahnya dapat menggunakan uang dari nilai tanahnya untuk membeli unit hunian di OSH dengan mengubah sertifikatnya menjadi strata title.
Financing System
OSH will be managed together by NGO as the community representative and local government. Local government should set up regulations to preserve the sustainable environment in OSH residential area and control the balance among the residential area, green open spaces, and the acceptable level of population density. Financial for the construction is obtainable by combining local government’s budget and funding collected by the NGO. The residents should be given light credit installment within 10 to 15 years time. There will land consolidation within OSH area. Residents who hold certificate of ownership of the land could use their asset (land value) to have residential unit in OSH by changing the certificate into strata title.
QUANTUM CHANGE AND TRANSFERABILITY
Perbaikan sebagian kecil kampung kota padat penduduk yang menyeluruh dan detail diyakini dapat menjadi salah satu pilihan bagi warga untuk dapat meningkatkan kualitas huniannya dan mempertahankan keberadaannya dalam konteks perkembangan kota di masa yang datang, tanpa harus digusur oleh kepentingan ekonomis pengembang skala besar. Keberhasilan OSH diharapkan dapat menjadi oasis bagi lingkungan sekitarnya dan mendorong dahaga warga kampung kota Pagarsih untuk melihat kemungkinan perbaikan lingkungan secara bertahap dan menyeluruh. Apabila satu wilayah kelurahan Babakan Tarogong (yang terletak dalam kecamatan Bojongloa Kaler) dengan luas 371,258m2 diperbaiki dengan metode OSH, dikurangi sirkulasi sekitar 15%, dengan KDB 50%, maka akan didapatkan Ruang Terbuka Hijau yang baru seluas 157,784.7 m2 atau sama dengan 24 kali luas lapangan bola. Ini akan menjadi sumbangsih yang sangat besar untuk mengejar kekurangan Ruang Terbuka Hijau bagi kota Bandung. Lingkungan hunian yang lebih baik dan sehat dapat mendorong produktivitas dan kreativitas warganya. Perekonomian warga dapat meningkat, pemeliharaan lingkungan berkelanjutan, hidup masyarakat menjadi lebih bahagia !
We believe that developing a holistic and comprehensive improvement to a small part of highly populated urban village can become an alternative for residents to enhance their residential area quality and maintain its exsistence within the context of city development in the future, without fear that someday they can be evicted in favor of economic interests of big scale developer. OSH success hopefully will be an oasis for the surrounding environment and encourage the people of Pagarsih urban village to see the possibility of progressive and holistic environmental improvement. Suppose one ‘kelurahan’ area of Babakan Tarogong (located within Bojongloa Kaler subdistrict) a 371,258m2 wide area is improved with OSH method, minus about 15% circulation, with 50% KDB, then we would get a 157,784 m2 wide new green open space or a size equal to 24 soccer fields. It will be a huge contribution to suffice the lack of green open space in Bandung. Better and healthier residential area will boost productivity and creativity of its people. Residents’ economic condition will improve, sustainable environment preservation will emerge, and the residents will enjoy a happier life!
tim desain: yu sing, benyamin narkan, reza prima, eguh murthi pramono, thoat fauzi, iwan gunawan
bandung, 16 maret 2010
yu sing

APLIKASI DESAIN PERBAIKAN KUALITAS HUNIAN [menuju solo bebas area kumuh]*

KUMUH:
1. Mengapa terjadi area kumuh ?
a. Pembiaran : sumber segala persoalan-persoalan besar (yang semula persoalan kecil dibiarkan sehingga ketika menjadi besar sulit ditangani). Inisiatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kecil sesegera mungkin merupakan tindakan pencegahan yang paling tepat.
b. Faktor ekonomi : keterpaksaan akibat kebutuhan ekonomi keluarga, atau karena urbanisasi tanpa keahlian.
c. Kemampuan adaptasi manusia yang sangat tinggi : lama kelamaan manusia bisa hidup di ruang-ruang yang ‘tidak manusiawi’.

Alternatif solusi :
1a. Substitusi –bukan hanya menggusur— kemudian penegakan aturan yang tegas dan konsisten.
1b. mikro kredit dengan bunga rendah bagi usaha rumah tangga, perbaikan rumah, dan atau pemilikan rumah.
1c. kemampuan adaptasi merupakan potensi untuk mengajak warga bagi peningkatan kualitas hidup dan lingkungan, memperbaiki cara hidup sebelumnya yang tidak peduli.

PERBAIKAN KUALITAS HUNIAN:

1. Solusi hunian murah untuk masa depan (pertumbuhan populasi, penambahan kepadatan kota) :
a. Perumahan murah bertingkat + ruang terbuka hijau + ruang sosial.
b. Pemanfaatan material2 bekas yang mudah dalam aplikasi, perawatan, maupun perbaikannya.
c. Solusi2 hemat energi dan murah.
2. Manajemen pengelolaan limbah dan energi.
- IPAL (instalasi pengolahan air limbah) kawasan.
- Sarana air bersih kawasan.
- Pengelolaan sampah.
- Penampungan air hujan
3. Integrasi hunian dengan ruang2 usaha kecil/rumah tangga,
membutuhkan mitra pendamping pengembangan usaha rumah tangga.
4. Sistem perumahan asuh.
Developer atau perusahaan cukup besar sebagai mitra pemerintah bagi perumahan/kawasan hunian asuh, yang dapat memberikan subsidi tertentu (misalnya sarana IPAL) bagi suatu kawasan.
5. Perkebunan warga (urban farming).
Pengelolaan ruang terbuka hijau dan taman vertikal pada dinding hunian sebagai perkebunan produktif warga.
6. Festival antar komunitas hunian, agar memiliki dampak pengaruh bagi komunitas hunian lainnya, misal: Festival hijau, festival sampah, festival usaha kecil rumah tangga, dll.
bandung, 10 maret 2010
yu sing | www.rumah-yusing.blogspot.
com | yusinglim@yahoo.com
*materi talk show selasar (solo bebas slum area), balaikota surakarta, 12 maret 2010, dipresentasikan juga percobaan desain perbaikan hunian padat kota (oasis social housing)

MENCARI KEMBALI NILAI-NILAI IDENTITAS KEBHINEKAAN *

dunia semakin menyatu, transfer budaya mengalir tanpa batas.

tanpa sepenuhnya sadar, kita terbawa arus besar ‘budaya dunia’.

Tidak dapatkah kita diam sejenak ?
melihat lingkungan sendiri dengan mata 'bersepeda' ?

Haruskah ragam identitas lokal yang bhineka ditinggalkan ?

Atau semata-mata karena kita gagap, lupa diri, tak punya identitas ?
Kemana hilangnya akar kebhinekaan ?

Betapa nyata perubahan status dari bangsa ‘pembuat’ menjadi bangsa ‘penikmat’ – eko prawoto

Kita sedang menyaksikan evolusi pemusnahan budaya yang bhineka (bukan karena dicuri bangsa lain!)

Belajar dari jepang, budaya yang telah mendunia.
Budaya zen, minimalis untuk dunia, restorasi meiji : budaya jepang, mode jepang, komik jepang, arsitektur jepang, makanan jepang, taman jepang, seni jepang, dll.
Mengapa jepang muncul menonjol ? karena konsisten menjaga dan mengembangkan budayanya ?

mampukah kita mencari kembali kekayaan kebhinekaan kenusantaraan ?

indonesia mendunia !!!

apa arsitektur indonesia ? KEBHINEKAAN !

bhineka: suku, budaya, sumber daya alam, filosofi kearifan hidup, kepercayaan spiritual, dll.

Aceh Alas Alune Alordi Ambon Ampanas Amungme Anak-Dalam (Anak Rimbo) Aneuk Jamee Arabic-Indonesian Aru Asmat Atoni Bali Balantak Banggai Baduy Bajau Bangka Banjar Banten Basan Batak Batin Bauzi Bawean Belitung Bentong Berau Betawi Bima Boti Bolang-Mongondow Bugis Bunak Bungku Buol Buton Chinese-Indonesian Chinese-Parit Cirebon Damal Dampeles Dani Dayak Dompu Dongo Duri European-Indonesia Flores Foni Ganda-Sirait Gayo Gorontalo Iban Indian-Indonesia Jawa Jambi Jews-Indonesia Karo Kaili Kaur Kayan Kayu-Agung Kerinci Kesepuhan Kemak-Indonesia Kendayan Kombai Komering Konjo Korowai Koteka-Tribes Kubu Kulawi Kutai Kluet Krui Lampung Lani Lematang Lembak Lindu Lintang Lom Lore Lubu Madura Makassar Malays Mandailing Manusela Mamasa Mandar Marind-Anim Mek Mentawai Meratus-Dayak Minahasa Minangkabau Mori Muko-Muko Muna Nage Nias Nuaulu Nusantara Orang-Laut Osing Ogan Papua Peranakan Palembang Pamona Pamenah Pesisi Pasir Rawa Rejang Rote Saluan Sambas Sangir Sasak Sawi Seafarers Selako Sekak-Bangka Sekayu Semendo Sika Simeulue Sigulai Sumbawa Sumba Sunda Talaud Talang-Mamak Tamiang Taus Timo Tengger Ternate Tidong Tidore Timor Tojo Toraja Tolaki Toli-Toli Tomini Una-Una Wemale Woilo…..
(sebagian daftar nama suku di indonesia, yang tahu suku lain yang belum tercatat, tolong ditambahkan)

Misalnya: IJUK
Bagaimana teknis pemasangan atap ijuk, membuat ijuk awet, kuat berapa lama, usia berapa yang baik untuk atap, berapa lama kekuatannya, berapa perbedaan suhu di luar dengan di dalam ruang bawah atap ijuk, berapa tebal atap ijuk yang baik ???
Betapa banyak sumber daya dan nilai lokal yang kita tidak tahu.

mari mulai perjalanan mencari identitas indonesia untuk arsitektur kini…

* materi kuliah umum itenas ruang 17, 5 maret 2010
(pada saat itu didiskusikan contoh2 desain dengan berbagai pendekatan nilai-nilai kebhinekaan)

1.3.10

percobaan perbaikan lingkungan hunian











mimpi
hunian padat murah
caringin, bandung
empati
dialog
kunjungan lokasi
mengamati
diskusi
desain
re-use
alih fungsi
mimpi
usulan kawasan
ekonomi, sosial, lingkungan, arsitektur
caringin family 'village' improvement
percobaan
konstruksi
diskusi
diskusi
diskusi
berharap konstruksi berlanjut perlahan
holcim awards for sustainable construction 2008
setahun kemudian:
telepon
dialog
email proses kontruksi
bandung-jakarta
pak gunawan tjahjono -ketua juri- bercerita
PEMENANG!
kategori utama holcim award indonesia
ganjaran
HOLCIM FORUM 2010 : re-inventing construction
MEXICO!
mimpi
berharap
perbaikan lingkungan hunian keluarga caringin berlanjut.....

11 november 2009,
yu sing